Sunday, August 10, 2008

Pendidikan di Jerman

Pendidikan di Jerman
Kejujuran, Roh Utama Pendidikan

KOMPAS/TONY D WIDIASTONO / Kompas Images

Sepeda merupakan sarana transportasi yang umum dipakai para mahasiswa di
Jerman.
Selasa, 29 Juli 2008 | 03:00 WIB
Tonny D Widiastono

Bagi Anda yang mempunyai kebiasaan mencontek dan ingin belajar ke Jerman,
diingatkan untuk menghentikan kebiasaan buruk itu. Alasannya, mencontek
bukan saja menipu diri sendiri, tetapi juga merusak kejujuran yang
merupakan roh utama pendidikan.

Tradisi untuk mempertahankan kejujuran dalam dunia pendidikan sudah
ditanamkan sejak adanya pendidikan itu sendiri. Maka, dalam pendidikan di
Jerman, amat sulit ditemukan tesis, disertasi, atau skripsi yang merupakan
plagiasi atau manipulasi, atau tindakan sejenisnya, atau hal lain yang
tercakup dalam perilaku ketidakjujuran akademis. Itu semua disebabkan oleh
upaya menjunjung tinggi kejujuran yang terkait erat dengan nilai
kebenaran.

"Saya bersyukur, di sini ada peraturan yang amat keras. Mencontek, jika
dianggap amat parah, bukan hanya tidak lulus, tetapi juga dikeluarkan.
Semua aturan terkait kejujuran itu sudah tercantum dalam Studienordnung.
Cari saja paragraf soal mencontek, akan keluar berbagai aturannya. Semua
ketentuan itu sudah tercantum di sana, antara lain aturan studi dan aturan
ujian. Semua sudah jelas," kata Yohanes Bosco Djawa OCarm, pastor asal
Bajawa-Flores yang menjadi mahasiswa Filsafat Teologi Sankt George di
Frankfurt.

Adanya ketentuan dan dilaksanakan secara ketat membuktikan bahwa Jerman
masih menghargai kejujuran, bahkan menempatkannya sebagai yang utama atau
roh utama pendidikan. Bahkan, untuk membuat skripsi, mahasiswa tidak bisa
begitu saja melakukan copy and paste. Mahasiswa yang melakukan itu jangan
harap bisa lolos begitu saja.

Dipl-Ing Rinaldi Sobirin dari Fakultas Teknik Elektro, TU Darmstadt,
bercerita, beberapa waktu lalu ada teman dosen, orang Jerman, menemukan
sebuah tesis yang sedang diajukan dan di dalamnya ada bagian yang
membuatnya ragu. Dosen tersebut memang harus membaca semua dulu, sebelum
memberikan kata pengantar.

"Dia bilang, untuk bagian ini, kok, dia merasa pernah membaca. Lalu
dicarilah di internet. Ternyata benar, bagian skripsi itu mencontek dari
RWTH Aachen. Teman saya tahu, ini bukan bahasa mahasiswa, ini bahasa
profesor. Tetapi, karena ini praktikum suatu eksperimen dan bukan ujian,
dia minta untuk perbaikan, dan diingatkan untuk tidak mengulangi lagi.
Kalau tidak, si mahasiswa bisa dikeluarkan," tuturnya.

"Begitulah yang terjadi. Jerman ini maunya menghasilkan insinyur dan
intelektual yang mumpuni, bukan hanya ahli ngecap," kata Rinaldi lagi.

Maka, calon mahasiswa selalu diingatkan, datang ke universitas tidak
otomatis lulus. Belajar di Jerman memerlukan perjuangan yang amat keras
untuk bisa lulus. Mereka yang mendapat informasi keliru dari lembaga yang
kurang paham sering kaget melihat kenyataan di Jerman. "Seolah belajar di
Jerman itu gampang. Hidup di Jerman pun lempeng saja. Mereka tidak tahu
hidup dan belajar di sini penuh tangisan dan keringat," kata Rinaldi.

Tugas semua

Terkait masalah kejujuran dalam dunia pendidikan, hal itu sudah selayaknya
dipelihara dan diutamakan dalam dunia pendidikan. Sebab, bagaimana
pendidikan akan memberikan nilai-nilai utamanya apabila kejujuran sudah
hilang dari institusi ini.

"Maka benar kalau dikatakan kejujuran adalah roh pendidikan. Kami di sini
sejak kecil memang dilatih untuk jujur, apa adanya, tidak memanipulasi
hasil. Meski demikian, tidak berarti praktik ketidakjujuran sudah hilang.
Di sekolah tentu saja masih ada yang tidak jujur. Maka, peraturan itu
menjadi penting dan harus ditegakkan," kata Christian Dick, mahasiswa
Teknik Elektro semester IV di TU Darmstadt.

Selain menjadi roh pendidikan, kejujuran juga mendorong persaingan yang
sehat dalam menciptakan sesuatu. Kalau tidak, bagaimana mungkin bangsa
Jerman menghargai berbagai temuan. "Maka, dalam skripsi atau karya tulis
pun semua harus jelas. Berbagai kutipan yang dilakukan harus ditunjukkan
sumbernya. Dengan cara ini, kami diajak untuk menghindari plagiasi,
menghindari penipuan," kata Dick seraya bertanya, "Kalau pendidikan sudah
dicurangi, hasil apa yang akan diperoleh?"

Penghasilan

Kejujuran juga terkait dengan kehidupan dan penghasilan. Seseorang yang
hanya bekerja sebagai dosen memang bisa hidup "lebih baik" daripada
seorang mahasiswa. Tetapi, ia jelas tidak mungkin hidup dengan gaya
seperti seorang menteri atau pejabat negara. Artinya, orang Jerman sudah
terbiasa hidup apa adanya, jauh dari rasa tamak, jauh dari keinginan untuk
berlaku tidak jujur dengan memanfaatkan jabatan atau profesi. Semua ada
standarnya.

"Benar, di sini semua ada standarnya. Gaji pembantu dosen tidak akan
mungkin lebih tinggi dari profesor. Sebagai pembantu dosen dengan status
bujangan, mereka akan mendapat gaji bersih antara 1.600 euro hingga 1.700
euro," kata Rinaldi.

Disebut gaji bersih karena sudah dipotong pajak, asuransi, pensiun, dan
sebagainya. Dengan gaji bersih 1.600 euro atau 1.700 euro, berarti gaji
kotor pembantu dosen itu sekitar 3.200 euro atau 3.400 euro. Jadi,
potongan pajak hampir mencapai 50 persen.

"Kalau sudah berkeluarga, perhitungan gaji juga didasarkan pada jumlah
anak. Yang jelas, pembantu dosen yang sudah berkeluarga minimal akan
mendapat gaji 2.100 euro dan paling besar sekitar 3.000 euro. Jumlah itu
lebih besar karena ada subsidi untuk anak," kata Rinaldi menambahkan.

Faktor gaji yang tinggi bagi pegawainya membuat Pemerintah Jerman harus
pandai-pandai menyiasati persaingan dengan negara Eropa Timur, apalagi
negeri di kawasan itu juga mumpuni di bidang teknologi. Bisa-bisa
perusahaan atau tenaga ahli diambil dari Eropa Timur yang masih bisa
digaji lebih rendah. Jika itu yang terjadi, ini akan merupakan bencana
bagi masyarakat Jerman sendiri.

Lalu, bagaimana jika seseorang yang telah bekerja di Jerman kemudian
kembali ke negeri asalnya? Semua juga sudah diatur. Bahkan, uang pensiun
yang sudah dikumpulkan setiap bulan bisa diminta kembali apabila yang
bersangkutan akan pulang selamanya ke negeri asalnya.

"Uang pensiun bisa diambil. Memang, harus menunggu persetujuan dua atau
tiga tahun. Tetapi, biasanya selalu dapat diambil kembali," ujar Rinaldi.

Mandiri

Tentang pendidikan di Jerman, Rinaldi juga mengakui, Jerman memberikan
kualitas yang istimewa. Hal yang tidak terbantahkan adalah tersedianya
fasilitas untuk pendidikan. Memang, fasilitas bukan segala-galanya, tetapi
ini memacu motivasi studi, apalagi fasilitas untuk praktik.

"Bagi saya pribadi, belajar di Jerman menempa kita untuk mandiri. Di
Jerman, umumnya orang dituntut untuk bisa mandiri. Kalau ia bisa melewati
masa itu, ia akan berhasil dan mumpuni. Dulu, dari Rektor Aachen, membuat
sistem yang memaksa mahasiswa harus mandiri. Jika tidak bisa mandiri, dia
akan out. Jadi yang lulus benar-benar orang yang siap survive di dunia
kerja," tutur Rinaldi yang lulusan SMA Negeri II Surabaya ini.

Namun, keistimewaan Jerman dalam pendidikan bukan dibangun dalam satu dua
tahun. Jerman juga memiliki latar belakang dan sejarah pendidikan yang
lama, terutama untuk bidang teknik. Maka, hingga kini, Jerman masih
menjadi kiblat bagi siapa pun yang ingin belajar teknik. "Hal ini juga
dikuatkan oleh kebiasaan orang Jerman yang suka bermain perkakas, suka
utak-utik alat sejak berabad-abad lalu. Maka, tak heran jika teknologi
dari Jerman masih sulit ditandingi," kata Rinaldi.

Hal itu juga diakui Charles Kusuma Wijaya, mahasiswa Teknik Informatika TU
Darmstadt.

Dia mencontohkan, produk Jerman yang sudah mendunia dan murah adalah musik
dalam format MP3 yang diciptakan Profesor Dieter Seitzer dari Erlangen,
Universitas Nueremberg, dan dikembangkan oleh Karl Heinz Brandenbrug. "MP3
ini benar-benar made in Germany yang murah dan mendunia. Siapa sekarang
yang tidak mengenal MP3? Hampir semua orang mengenal MP3," kata Charles,
lulusan SMA Marsudirini, Matraman, Jakarta, ini.

Charles mengakui, ia belajar ke Jerman karena tertarik kualitas yang
ditawarkan.

Hal serupa dialami Philemon Ivan Derwin (mahasiswa Teknik Industri),
Dhanang Kusumaningtyas (mahasiswa Teknik Elektro), Putri Kusumaningtyas
(mahasiswi Teknik Informatika), dan Agnes Nirmalasari (mahasiswi Sastra
Jerman).

"Belajar di Jeman, selain kualitasnya bagus, juga murah dan tidak
neko-neko. Semua pengeluaran uang jelas maksudnya. Mungkin kalau
dihitung-hitung, lebih murah di Jerman dibanding di Jakarta. Hanya saja
belajar di sini tidak bisa bersantai-santai. Selain itu, belajar di Jerman
akan membuka wawasan kita karena bergaul dengan manusia dari berbagai
penjuru dunia. Istilah kerennya, menjadi manusia internasional," kata
Agnes.

Hanya untuk TK

Ihwal keharusan membayar uang sekolah, menurut Christian Dick yang asli
Jerman, hal itu lebih didasarkan pada undang-undang negara bagian
masing-masing. Memang, untuk pendidikan dasar hingga perguruan tinggi,
semuanya gratis. Artinya, pemerintah berkewajiban menyediakan sarana
pendidikan, dan semua orang diberi kesempatan yang sama untuk mengenyam
pendidikan.

Maka, pada jenjang itu, masyarakat dibebaskan dari kewajiban membayar uang
pendidikan. Apalagi, Pemerintah Jerman memberlakukan kewajiban untuk
sekolah bagi semua warganya. Bahkan, kalau tidak mau sekolah, polisi bisa
memaksa orangtua dan anak-anaknya untuk sekolah.

"Tetapi untuk taman kanak-kanak berbeda. Selain diberi aneka pengetahuan
yang terkait dengan kebutuhan anak-anak, mereka juga disediakan makanan
yang sehat dan fasilitas untuk istirahat. Dengan demikian, wajar kalau
anak-anak taman kanak-kanak justru diharuskan membayar. Pembayaran itu,
sekali lagi, bukan untuk pendidikannya, tetapi karena harus menyediakan
sarana tidur, memberikan makan, dan sebagainya," kata Dick.

Terkait dengan kualitas pendidikan yang diberikan oleh semua lembaga
pendidikan di Jerman, Dick tidak menyangsikan.

"Ya, itu semua sebenarnya hasil upaya dan usaha yang lama. Maka, usia
pendidikan di Jerman sendiri umumnya cukup tua. Fakultas Elektro di TU
Darmstadt ini saja sudah berusia 125 tahun. Sudah cukup tua," katanya
menambahkan.

No comments: